Gudeg Yogyakarta |
Sejarah Perjalanan Gudeg Yogyakarta.Kebanyakan
orang hanya mengetahui gudeg berasal dari Yogyakarta. Sebenarnya gudeg
mengalami perjalanan sejarah yg begitu panjang sebelum menjadi ikon
makanan khas Yogyakarta.
Diungkapkan
oleh Murdijati Gardjito yang telah menerbitkan buku berjudul "Gudeg
Yogyakarta", sejarah gudeg di Yogyakarta dimulai bersamaan dengan
dibangunnya kerajaan Mataram Islam di alas Mentaok yang ada di daerah Kotagede
pada sekitar tahun 1500-an.
"Saat
pembangunan kerajaan Mataram di alas Mentaok, banyak pohon yang ditebang, dan
di antaranya adalah pohon nangka, kelapa, dan tangkil atau melinjo,"
jelasnya.
Karena
banyaknya buah nangka muda (gori), kelapa, dan daun tangkil (melinjo), akhrinya
mendorong para pekerja untuk membuat makanan dari bahan-bahan tersebut. Untuk
memenuhi makan para pekerja yang jumlahnya begitu besar, nangka muda yang
dimasak jumlahnya juga sangat banyak.
Bahkan
untuk mengaduknya atau dalam bahasa Jawa disebut hangudekharus menggunakan alat
menyerupai dayung perahu. Dari proses mengaduk (hangudeg) ini makananan yang
diciptakan dari nangka muda ini disebut gudeg.
Selain
itu, gudeg juga tercatat dalam karya sastra Jawa Serat Centhini. Diceritakan di
dalamnya, pada tahun 1600-an Raden Mas Cebolang tengah singgah di pedepokan
Pengeran Tembayat yang saat ini berada di wilayah Klaten.
Di
sana Pengeran Tembayat menjamu tamunya yang bernama Ki Anom dengan beragam
makanan dan salah satunya adalah gudeg.
Gudeg
sejatinya bukanlah makanan yang berasal dari lingkungan kerajaan, melainkan
dari masyarakat. Meskipun demikian, untuk menjadi makanan tradisional yang
setenar saat ini, perlu proses yang panjang.
Murdijati
Gardjito mengungkapkan karena gudeg perlu waktu memasak yang lama, pada awal
abad 19 di Yogyakarta sendiri belum begitu banyak orang berjualan gudeg.
"Saking
istimewanya, karena proses memasaknya yang lama dan pada waktu itu belum banyak
yang berjualan, gudeg sering dijadikan makanan nadzar, atau wujud rasa sukur.
Seperti jika anak sedang sakit, akan diajak makan gudeg jika nanti telah
sembuh," cerita Murdijati Gardjito.
Kemudian
pada tahun 1940-an bersamaan dengan ide Presiden Soekarno membangun universitas
di Yogyakarta (UGM), gudeg mulai berkembang dan banyak dikenal masyarakat. Dari
sinilah gudeg kering juga mulai hadir.
Keinginan
para mahasiswa luar daerah yang ingin menjadikan gudeg sebagai oleh-oleh
menghadirkan gudeg kering yang dimasak di dalam kendil agar lebih tahan lama.
Pembangunan
kampus UGM di daerah Bulaksumur, juga memunculkan kampung sentra gudeg Mbarek
yang berdekatan.
"Karena
banyaknya mahasiswa UGM dan mereka perlu makan, maka hadir kampung Mbarek yang
di sana banyak penjual gudeg. Keberadaan kampung ini semakin membuat gudeg
kering berkembang dengan baik," ungkap Murdijati Gardjito.
Seiring
dengan berjalannya waktu, sektor wisata juga semakin berkembang. Hal ini
melatarbelakangi pemerintah untuk mengkontruksi sentra gudeg baru, yang berada
di Wijilan sekitar tahun 1970-an.
Hingga
saat ini gudeg telah menjadi ikon makanan Yogyakarta, keberadaanya mudah ditemukan
di setiap sudut kota Pelajar ini. Gudeg pun telah berkembang dengan baragam
varian.
Source
:Hamim Thohari / Tribun Jogja
Penjual gudeg |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar